Hakikat Kesempurnaan Puasa
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt yang telah memberikan kesempatan kita untuk bertemu dengan bulan suci Ramadan untuk yang kesekian kalinya. Namun harus kita ketahui bahwa Ramadan yang menemui kita kali ini bukanlah Ramadan yang datang pada tahun-tahun sebelumnya. Bulan Ramadan merupakan bulan yang mempunyai banyak keistimewaan yang tidak dimiliki oleh sebelas bulan lainnya. Salah satu keistimewaan bulan Ramadan adalah diwajibkannya puasa di bulan ini bagi orang-orang yang beriman.
Puasa yang secara sederhana dapat kita ertikan “menahan diri”. Iaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Yang dimaksud membatalkan puasa di sini bukan hanya membatalkan ibadahnya secara hukum, akan tetapi juga mencakup hal-hal yang membatalkan hakekat, tujuan dan membatalkan pahalanya. Kalau puasa dimaknai hanya menahan diri dari yang membatalkan ibadahnya secara hukum, maka hal ini tidak seberat ketika dimaknai menahan diri segala yang membatalkan hakikat, tujuan dan pahala puasa.
Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum serta memasukkan benda ke dalam salah satu lubang angggota tubuh kita, akan tetapi lebih dari itu, puasa bererti menahan diri dari segala yang membatalkannya secara hukum juga menahan diri dari segala sesuatu yang dibenci oleh Allah baik lahir maupun batin, Nabi Muhammad saw bersabda ”Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar daan dahaga”. Hal inilah yang menunjukkan bahwa hakikat puasa bukan hanya menahan diri dari lapar, dahaga dan bersetubuh.
Imam al-Ghazali dalam buku yang berjudul Cahaya di Atas Cahaya menyatakan “Kesempurnaan puasa adalah dengan mencegah segenap anggota badan dari segala hal yang tidak disenangi oleh Allah. Seharusnya kita juga menjaga mata dari melihat hal-hal yang tidak disenangi oleh Allah, menjaga lisan dari mengucapkan hal-hal yang tidak bermakna, menjaga telinga dari mendengarkan, hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala. Orang yang mendengar adalah teman si pembicara, yang kerananya dia juga dikategorikan sebagai orang yang mengumpat. Begitu juga kita harus mengawal seluruh anggota badan sebagaimana engkau menjaga perut dan kemaluan”.
Berkaitan dengan hal di atas banyak sekali hadits Rasulullah yang menerangkan diantaranya: ”Lima hal dapat membatalakan puasa, yaitu berbohong, mengadu domba, bersumpah palsu, dan memandang dengan syahwat.” Nabi juga bersabda”Puasa adalah perisai, maka jika salah seorang dari engkau berpuasa janganlah dia berkata buruk, melakukan maksiat, dan berpura-pura bodoh. Jika ada orang yang mahu membunuh atau mencercanya, maka dia harus mengatakan bahwa aku sedang berpuasa.” Dalam hadits lain Rasulullah bersabda ”Barang siapa tidak meninggalkan kata-klata kotor dan perbuatan keji, maka usahanya meninggalkan makan dan minum tidak berarti bagi Allah.”
Dari hadis-hadis di atas Imam Al- Nawawi dalam kitab Syarah Bidayatul Hidayah Al-Ghazali memberikan kesimpulan bahwa kesempurnaan puasa adalah dengan mencegah segenap anggota badan dari segala hal yang tidak di senangi oleh Allah, iaitu dosa. Itulah puasa orang-orang saleh yang kemudian disebut dengan puasa khusus. Kesempuranaan puasa akan tercapai dengan lima hal.
- Pertama, menjaga mata dari melihat hal-hal yang tidak disenangi Allah dan segala hal yang dapat melengahkan diri dari mengingat-Nya. Rasulullah bersabda: ”Pandangan adalah salah satu panah beracun iblis terkutuk”. Barang siapa yang tidak melihat hal-hal tersebut karena takut kepada Allah niscaya Allah akan memberinya keimanan yang manisnya dapat dirasakan dalam hatinya.
- Kedua, menjaga lisan dari mengucapkan hal-hal yang tidak bermakna. Hal-hal yang bermakna adalah segala hal yang berkitan dengan keselamatan manusia di akhirat dan keperluan hidupnya yang dapat menyenangkannya dari rasa lapar, menghapus dahaga, menutup aurat dan kepeperluan-keperluan pokok lainnya.
- Ketiga, menjaga telinga dari hal-hal yang diharamkan Allah swt. Orang yang mendengar adalah teman si pembicara. Sebab segala hal yang haram diucapkan, juga haram untuk di dengar.
- Keempat, berbuka puasa dengan makanan yang halal. Puasa yang berfungsi menahan diri dari barang yang halal tidak akan bermakna bila ditutup dengan berbuka makanan yang haram. Orang yang melakukan hal demikian seperti orang yang membangun sebuah istana kemudian menghancurkannya.
- Kelima, ketika berbuka tidak makan terlalu banyak jika kita hanya memindahkan makan kita pada pagi atau siang hari ke malam hari, maka puasa kita tidak bermanfaat. Artinya, di antara etika puasa adalah tidak makan terlalu kenyang, terutama pada waktu berbuka. Hal ini berkaitan dengan sisi pengaruh puasa, yaitu melemahkan (baca; mengendalikan) syahwat yang merupakan tempat berjalannya syaitan di dalam tubuh sejalan dengan aliran darah kita. Oleh karena itu barang siapa yang berbuka dengan kadar yang berlebihan dihukumkan seperti orang yang tidak berpuasa, karena ia belum mampu mengendalikan sahwatnya untuk makan.
Untuk mendapatkan kesempurnaan puasa kita tidak cukup hanya dengan menjaga anggota badan bagian luar (zahir) dari hal-hal yang tidak disenangi Allah, kita juga harus menjaga anggota batin, yaitu hati. Maksiat batin juga harus kita nyahkan, karena juga akan merusak kesucian makna puasa. Sumber utama maksiat ini adalah hati. Kita harus membersihkan penyakit-penyakit hati seperti, sombong, ujub, congkak, iri, dengki, riya’ (pamer) dan berbagai penyakit hati lainnya yang dapat mengurangi atau bahkan membatalkan tujuan puasa. Penyakit-penyakit ini nampaknya sangat sederhana, padahal sangat berbahaya karena dapat membakar amal baik kita sebagaimana bara api yang memakan kayu yang sudah kering. Jadi untuk mendapat kesempurnaan puasa marilah kita hindari penyakit-penyakit ini dengan cara dengan mencari sebab-sebab penyaki itu dan menyedari akibat-akibat negatif yang akan ditimbulkanya. Terapinya harus dilakukan dengan latihan terus-menerus untuk membersihkan dan mengembalikan manusia kepada fitrahnya yaitu suci. Karena pada hakekatnya kewajiban kita hanyalah mempertahankan kesucian yang telah dianugerahkan Allah kepada kita sejak kita dilahirkan. Ubat penyakit-penyakit itu tidak dijual di kedai atau doktor praktek. Penyakit-penyakit ini berasal dari dalam diri kita, dan ubatnya pun berada dalam diri kita.
Begitu banyak rintangan yang dihindari oleh orang yang berpuasa agar ia benar-benar sampai tujuan puasa, yaitu membentuk peribadi yang bertaqwa. Taqwa yang secara lughawi (bahasa) mengacu pada pengertian tentang orang-orang yang memeliharanya. Jadi sangatlah wajar jika banyak hal yang harus dijauhi olah orang yang berpuasa, karena sesuai tujuannya iaitu agar menjadi orang yang memelihara dan terpelihara. Terpelihara dirinya, baik dirinya peribadi ataupun lingkungan dari tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tuntutan dan ajaran agama ataupun terpelihara dirinya dalam kontek sosial, kontek yang lebih luas.
Namun balasan yang disiapkan Allah bagi orang yang berpuasa lebih besar dan lebih banyak daripada rintangan dan godaan yang dihadapi ketika menjalankannya. Begitu besarnya balasan yang dijanjikan Allah, tiada seorangpun yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi yang artinya ”Setiap satu kebaikan digandakan sepuluh hingga tuju ratus, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku akan mengganjarnya sendiri”. Hal ini berarti balasan yang akan diberikan Allah tidak ditentukan ukurannya.
Semuga kita dapat menjalankan puasa dengan sempurna agar puasa kita dapat diterima di sisi Allah, sehingga kita mendapatkan predikat pribadi yang bertaqwa juga mendapatkan redho dan balasan yang telah disiapkan-Nya.
Dipetik dari: Imam Mustofa, Pondok Pesantren Univ. Islam Indonesia
Tiada ulasan:
Catat Ulasan