Rabu, 28 April 2010

Sujud kepada Sang Pencipta

SUJUD KEPADA SANG PENCIPTA

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam”(Q.S. :6 : 162).
Seorang muslim melihat setiap aspek alam bukan sebagai fenomena yang terpisah dari dunia kasat indera, melainkan sebagai tanda-tanda Ilahi. Maka dengan cara inilah Rabb melalui utusan-Nya yang terakhir, membangun kembali alam (bumi) sebagai tempat yang merupakan inti ajaran Islam. Tempat sang manusia sempurna lagi mulia menyentuhkan dahinya ke bumi sebagai perintah langsung dari Sang Pencipta. Menurut Islam, alam semesta yang penuh dengan tanda dan isyarat (ayat ) Allah, seperti dikatakan dalam Al-Qur'an: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat) Kami disegenap penjuru dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka akan kebenaran" (QS : 41 : 53).


SHALATKU DAN IBADAHKU

Bersujud menyentuh bumi (shalat) ini diantara berbagai fungsinya, adalah untuk mengembalikan manusia dan alam kesucian fitrah (al-fithrah). Saat Yang Maha Esa menghadirkan dirinya secara langsung di dalam hati manusia dan mengumandangkan sebuah simfoni abadi dalam keselarasan yang ada pada alam yang suci, sesuai firman Allah dalam Al-Qur'an : "Maka bersujudlah kepada Allah, dan sembahlah Dia “ (Q.S. 53 : 62).

Allah Swt telah menunjukkan alam yang suci , karya agung dari tindak kreatif-Nya yang tiada habis-habisnya, sebagai tempat ibadah shalat bagi kaum muslim dan utusan terakhir-Nya yang terkemuka dengan menjadikan Islam, agama fitrah, untuk kembali ke alam fitrah sebagai rumah suci. Dengan melakukan shalat seorang muslim telah kembali ke pusat alam, bukan secara eksternal melainkan melalui hubungan bathin yang menghubungkan prinsip-prinsip dan irama-irama alam. Nabi Muhammad SAW, pertama kali menunaikan shalat di hadapan singgasana Rabb ('Al-Arsy) sebelum beliau mengerjakan shalat di atas tanah dan dengan penyucian kembali tanah sebagai refleksi Arsy, mengembalikan bumi ke kondisi fitrah-Nya sebagai cermin dan pantulan surga. Penyucian kembali tanah dengan tindakan sujud Nabi Muhammad SAW itulah yang memberikan makna baru bagi tanah dan permadani yang menutupinya.

Seorang muslim melewatkan sebagian besar waktunya diatas permadani itu, untuk memahami kesucian tempat dia duduk serta menyatu di dalamnya ketika mengerjakan ibadah shalat. Dengan mewahyukan kewajiban shalat setiap hari kepada utusan-Nya, Allah menjadikan alam tidak hanya sebagai tempat ibadah, sebagaimana arti sebenarnya bagi manusia fitrah tanpa adanya bahaya kemusyrikan, melainkan juga mengijinkan penyucian bumi itu sendiri melalui sujud sang manusia sempurna. Dengan menyentuhkan dahinya ke tanah, Rasulullah SAW. memberikan makna khusus mengenai penyentuhan dahi atas bumi (tanah) dalam upaya mengingatkan manusia pada proses awal penciptaannya dan darimana asal muasal hal ikhwalnya. Seperti tersebut didalam Al-Qur'an : "Dari bumi (tanah) itulah KAMI menjadikan kamu, dan kepada-Nya kami akan mengembalikan kamu, dan daripadanya KAMI akan mengeluarkan kamu, pada kali yang lain". (Q.S.20 : 55).

Al-Qur'an mengembalikan kesadaran manusia, bahwa alam semesta adalah kalam ilahi dan pelengkap ayat-ayat suci tertulis yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.. Kesadaran ini diperkuat dengan tata cara shalat yang secara naluriah mengembalikan pada keadaan fitrahnya, dengan menjadikan seluruh alam sebagai tempat ibadah. Terlebih lagi Rasulullah menegaskan bahwa bumi (tanah) itu tak ubahnya merupakan pencerminan arsy. Beliau melakukan shalat digurun pasir dan pegunungan, di alam yang tetap suci dan bersih. Akar dari kaidah Islam ditemukan pada penyucian kembali alam dalam hubungannya dengan manusia, sebagai wujud fitrah yang tetap menyadari hubungan bathinnya dengan yang Maha Esa maupun dengan ciptaan-Nya. Sedangkan hubungan kosmos Islam dengan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip kosmologinya digambarkan dengan sangat mengagumkan didalam Al-Qur'an, yang kemudian digali secara terinci selama beberapa generasi disepanjang sejarah Islam.


SHALAT MENGHADAP ALLAH

Sujud, yakni suatu posisi ketiga dalam shalat (namaz) ketika dahi orang yang mengerjakan shalat menyentuh tanah dalam kepatuhan - kerendahan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Rabb. Pada permulaan shalat, seorang muslim berdiri tegak lurus sebagai manusia fitrah. Ia menjadi imam bagi dirinya sendiri, menghadap Rabb tanpa perantara. Ibadah ini dilakukan oleh manusia, bukan sebagai makhluk yang berputus asa, melainkan sebagai wakil Allah dimuka bumi. Sebuah kesadaran akan substansi teomorfis, yang berdiri pada poros vertikal eksistensi alam semesta. Hal ini merupakan kebenaran yang berlaku bagi kaum wanita sebagaimana kaum pria, karena baik kaum pria maupun kaum wanita akan berdiri secara langsung menghadap Rabb dalam menunaikan ibadah shalatnya. Karena di dalam shalat , hamba Allah harus berusaha mencapai persatuan dengan Rabbnya. Hilangkan lintasan-lintasan (ghurur / kicuhan ) lainnya , selain Dzat Yang Maha Suci dari dalam hatinya. Allah SWT tidak ingin diduakan, karena jika hamba Allah ingin menghadap kepada-Nya secara langsung dalam shalatnya, maka hadapkanlah lahir dan bathinnya, jangan lahirnya seperti menghadap Allah, akan tetapi bathinnya menghadap hal-hal lain di luar Allah Swt.

Bagaimana seseorang itu akan dapat merasakan nikmatnya ibadah, jika ia selalu lalai dalam shalatnya. Lalai dalam arti kata, hati dan pikirannya yang tidak pernah terfokus pada Dzat Yang Maha Pencipta. Awal shalat selalu dimulai dengan niat suci karena Allah semata, tapi pada prakteknya niat suci awal tersebut berubah menjadi lintasan-lintasan lain dalam hati dan pikirannya. Misalkan saja ketika kita mengerjakan shalat, terlintas akan permasalahan dan urusan-urusan rumah tangga - pejabat - usaha - dan lintasan-lintasan lain dari bagian dunia ini. Yang demikian itu tidaklah dibenarkan dalam tuntunan adab shalat yang baik, karena jika hal tersebut terjadi itu berarti ia hanya menyiapkan amal lahir dan tidak memelihara hati (bathin). Padahal hati itu adalah pokok yang utama, dan seseorang itu tidak akan selamat kecuali menghadap Allah dengan hati yang lurus tanpa ada kebengkokan didalamnya. Seperti tersebut dalam Al-Qur'an : "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya". (Q.S. 107 : 4-5).

Mengenai masalah hati ini, Sayyidina Ali RA, mengatakan : “Sesungguhnya Allah Ta'ala di bumi ini mempunyai wadah (bekas), yaitu hati. Maka yang paling dicintai Allah adalah wadah yang paling kuat, wadah yang paling bersih, dan wadah yang paling lunak”. Maksudnya ialah kuat agamanya bersih didalam keyakinannya dan lunak terhadap sesamanya (saling menyayangi).

Jika kita menyemak firman Allah dan ucapan Sayyidina Ali tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya manusia itu selalu cenderung merasa puas dengan apa-apa yang telah dikerjakannya. Serta sudah merasa cukup dan sempurna dalam menjalankan apa-apa yang Allah perintahkan kepadanya dengan tanpa berusaha ingin mengetahui dimana letak-letak kekurangannya, dan rasa inilah yang merupakan awal bagi manusia untuk tidak tergerak hatinya dalam mencari kesempurnaan ibadah kepada Allah Swt., karena ia sudah merasa sempurna dengan tata cara ibadah yang selama ini dilakukannya. Jika mengenai urusan dunia rasa cukup itu cocok sekali, hal ini menandakan bahwa ia tidak rakus dan serakah dengan apa-apa yang didapatkannya dari dunia ini untuk mencukupi keperluan hidup diri dan keluarganya. Akan tetapi jika untuk keperluan akhirat rasa cukup itu harus dibuang jauh-jauh, karena akan menghambat tambahan amal-amal lainnya, dan seseorang yang tidak pernah merasa cukup dengan amal akhiratnya tidak dapat dikatakan rakus, karena ia merupakan orang yang pandai mengatur hidupnya dan berpikiran luas serta memiliki rasa kerinduan yang teramat besar untuk bertemu Rabbnya di akhirat kelak. Orang semacam inilah yang tidak akan pernah lalai dalam shalat dan ibadah-ibadah lainnya.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan